Rabu, 15 Februari 2012

Kedoteran



 REFARAT EKTIMA

  1. PENDAHULUAN
Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan olehStaphylococcusStreptococcus, atau keduanya. Ektima merupakan infeksi pioderma pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini adalah sanitasi buruk, menurunnya daya tahan tubuh, serta adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya.(1)
Insiden ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui. Frekuensi terjadinya ektima berdasarkan umur  terdapat pada anak-anak, dewasa muda dan orang tua, tidak ada perbedaan ras dan jenis kelamin (pria dan wanita sama). (1,2)
Dari hasil penelitian epidemiologi didapatkan bahwa tingkat kebersihan dari pasien dan kondisi kehidupan sehari-harinya merupakan penyebab terpenting yang membedakan angka kejadian, beratnya ringannya lesi, dan dampak sistemik yang didapatkan pada pasien ektima.(3) Read the rest of this entry »

 AKTINOMIKOSIS

  1. I. PENDAHULUAN
Aktinomikosis merupakan infeksi kronik yang ditandai oleh adanya lesi kulit bergranul dan supuratif yang disebabkan oleh bakteri endogen gram-positif berfilamen. Aktinomikosis terutama disebabkan oleh Actinomyces israelii, bakteri anaerob yang normalnya berada pada enamel gigi, gusi, tonsil, dan lapisan membran intestinal, serta vagina. Lokasi infeksi biasanya terdapat pada wajah, leher, thoraks, dan abdomen. Pada wanita dapat terjadi infeksi pada pelvik. Aktinomikosis kutaneus primer sangat jarang terjadi dan biasanya berhubungan dengan trauma eksternal dan iskemi lokal. Infeksi sering terjadi di daerah tropis dan memiliki karakteristik sebagai infeksi supuratif yang progresif dan bersifat kronik serta terdapat pembentukan abses  multipel dan traktus sinus yang akan mengeluarkan granul sulfur. 1-4
Aktinomikosis adalah infeksi yang relatif jarang terjadi dengan angka kejadian 1 : 300.000 orang per tahun.  Aktinomikosis dapat terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi tertinggi pada daerah dengan sosio-ekonomi rendah dan higienitas yang buruk. Tidak ada perbedaan ras dalam predileksi terjadinya aktinomikosis. Insidens aktinomikosis tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Aktinomikosis dapat menyerang semua usia, namun banyak kasus yang dilaporkan terjadi pada usia dewasa hingga usia pertengahan, yaitu 20-50 tahun.2,5
  1. II. DEFINISI
Aktinomikosis adalah suatu penyakit infeksi kronik, supuratif dan bergranul, yang terutama disebabkan oleh Actinomyces israeliiActinomyces spp. merupakan bakteri prokaryotik tingkat tinggi yang merupakan family Actinomyceataceae. Bakteri ini pertama kali ditemukan pada awal abad ke-19 dan sering salah diklasifikasikan sebagai fungi. Kata “actinomycosis” berasal dari bahasa Yunani, actino berarti gambaran radiasi yang terlihat dari granul sulfur dan mycosmenggambarkan suatu kondisi pada penyakit mikosis.5
  1. III. EPIDEMIOLOGI
Aktinomikosis merupakan infeksi dengan distribusi yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat, penyakit ini sering terjadi pada lelaki. Insiden penyakit ini sukar diprediksikan karena bukan merupakan penyakit yang sering dilaporkan. Aktinomikosis dapat terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi tertinggi pada daerah dengan sosio-ekonomi rendah dan higienitas yang buruk. Tidak ada perbedaan ras dalam predileksi terjadinya aktinomikosis. Insidens aktinomikosis tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Aktinomikosis dapat menyerang semua usia, namun banyak kasus yang dilaporkan terjadi pada usia dewasa hingga usia pertengahan, yaitu 20-50 tahun.2,7
50-60% dari semua kasus aktinomikosis adalah aktinomikosis servikofasial, 20% dari semua kasus aktinomikosis adalah aktinomikosis abdomino-pelvis dan 15% dari semua kasus aktinomikosis adalah aktinomikosis pulmonar. Aktinomikosis yang melibatkan organ lain seperti sistem saraf pusat, jantung, mata adalah sangat jarang.5
  1. IV. ETIOLOGI
Agen yang sering menyebabkan aktinomikosis adalah Actinomyces israelii dan A. gerencseries. Terdapat empat spesies Actinomyces yang lain (A. viscosus, A. odontolyticus dan A.meyeri),Propionibacterium propionum dan Bifidobacterium dentium (A. erisonii) mungkin juga mempunyai gejala klinis yang hampir sama.7
Etiologi pada human actinomycoses tidak dimiliki oleh satu spesis, tetapi dimiliki oleh beberapa anggota yang berbeda dari genus Actinomyces, Propionibacterium dan Bifidobacterium. Namun secara esensialnya, pada aktinomisit patogenik, semua lesi aktinomikotik yang tipikal mengandung antara 1 hingga 10 spesies bakteri. Bakteri ini berperan sebagai patogen sinergis yang menguatkan aktinomisit dan bertanggung jawab pada gejala awal penyakit dan kegagalan terapi.7
  1. V. PATOFISIOLOGI
Actinomycetes merupakan flora normal yang menonjol pada saluran mulut tetapi tidak menonjol pada saluran gastrointestinal bawah dan saluran genitalia wanita. Karena mikroorganisme tersebut tidak virulen, mikroorganisme tersebut membutuhkan perpecahan atau kerusakan membran mukosa dan kemunculan jaringan yang rusak untuk menyerang struktur tubuh yang lebih dalam dan menyebabkan penyakit pada manusia.2
Aktinomikosis biasanya merupakan infeksi polimikrobial, dengan jumlah bakteri yang terisolasi sebanyak 5-10 spesies bakteri. Terjadinya infeksi pada manusia membutuhkan keterlibatan bakteri lain, yang berpartisipasi dalam pembentukan infeksi dengan pengeluaran toksin atau enzim atau dengan menghambat pertahanan lokal tubuh. Kumpulan bakteri tersebut bekerja sebagai copathogen yang meningkatkan invasi Actinomycetes. Secara spesifik, bakteri tersebut berperan dalam manifestasi awal dari aktinomikosis dan penyebab kegagalan terapi. Ketika infeksi terjadi, sebagai pertahanan lokal terbentuk respon inflamasi yang hebat, yang bersifat supuratif dan bergranul, serta disusul terbentuknya fibrosis. Infeksi secara khas menyebar berdampingan, dan menyerang jaringan atau organ sekitar. Akhirnya infeksi akan menyebabkan terbentuknya sinus sebagai tempat pengeluaran pus. Penyebaran hematogen ke organ yang jauh dapat terjadi pada beberapa tingkatan aktinomikosis, sedangkan penyebaran limfatogen jarang terjadi.2
Tergantung pada tempat infeksinya, sebagian besar kasus aktinomikosis
juga disebabkan oleh berbagai mikroorganisme lainnya selain Actinomyces spp. Pada hasil kultur, telah diisolasi Acinobacillus actinomycetesmcomitans, Eikenella corrodens, Enterobacteriaceace, dan spesies Fusobacterium, Bacteroides, Capnocytophagia, Staphylococci, dan Streptococci. Mikroorganisme tersebut ditemukan bersamaan dengan Actinomyces sppdalam berbagai kombinasi. Rata-rata dua sampai empat dan terkadang sampai 10 spesies biasanya ditemukan dengan Actinomycetes. Peranan bakteri tersebut dalam patogenesis aktinomikosis tidak jelas. Bakteri tersebut umumnya dianggap sebagai nonpatogenik dalam kasus aktinomikosis, dengan kemungkinan bahwa penyakit aktinomikosis disebabkan oleh infeksi polimikrobial di mana Actinomyces spp. tetap mendominasi. Ada kemungkinan bahwa organisme lain meningkatkan patogenisitas aktinomisetes dengan menciptakan suasana anaerob di mana Actinomyces dapat tumbuh subur. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen di jaringan dan inhibisi fagosit yang diinduksi suasana anaerob.5
Sebuah tahap penting dalam perkembangan aktinomikosis adalah gangguan pertahanan mukosa, yang memungkinkan mikroorganisme menyerang. Pada aktinomikosis servikofasial, gangguan pertahanan mukosa dapat berasal dari sepsis di gigi. Infeksi sering terjadi pada pasien dengan kebersihan mulut yang buruk, atau setelah operasi. 2,5
Pada aktinomikosis abdominal, infeksi biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat operasi usus (misalnya pada perforasi apendisitis akut, divertikulitis, trauma abdomen), atau masuknya benda asing (misalnya: tulang ikan atau tulang ayam). Aktinomikosis pelvik dapat disebabkan dari penggunaan alat IUD (intra-uterine devices). 2,5
Aktinomikosis pulmonar dapat disebabkan oleh masuknya sekresi orofaringeal atau saluran pencernaan yang mengandung aktinomisetes ke dalam saluran pernapasan. Kebersihan mulut yang buruk dan penyakit gigi terkait dapat meningkatkan risiko. Aktinomikosis pulmonar dapat diawali ketika saliva atau material lain yang mengandung Actinomyces spp. masuk ke dalam bronkus menyebabkan atelektasis dan penumonitis. Saat terjadi bentuk awal inflamasi akut akan diikuti dengan karakteristik kronik, yaitu fase indolent menghasilkan nekrosis lokal, fibrosis dan kavitas. Jika  tidak dicegah, infeksi tersebut akan meluas ke pleura, dinding thoraks, struktur tulang, dan jaringan lunak sekitar, serta pembentukan sinus yang dapat mengeluarkan granul sulfur.2,5
VI. GEJALA KLINIS

Aktinomikosis merupakan penyakit bakteri subakut hingga kronik yang supuratif, membentuk saluran sinus yang mengeluarkan cairan berbentuk granul sulfur. Aktinomikosis dapat memberikan efek pada semua organ dan jaringan pada tubuh. Terdapat lima tipe klinis utama yang dapat dikenali, tergantung dari tempat infeksinya yaitu aktinomikosis servikofasial, aktinomikosis thorakal, aktinomikosis abdominal, aktinomikosis pelvik dan aktinomikosis kutaneus primer.2,7,8
Aktinomikosis servikofasial dapat berbentuk pembengkakan yang kecil dan keras yang berkembang di dalam mulut, wajah, leher, dan rahang. Pembengkakan ini akan menjadi lunak dan mengeluarkan pus yang mengandung granul sulfur. Pasien juga akan mengeluh nyeri, pruritus dan trismus. Pada aktinomikosis thorakal, didapatkan gejala demam, berat badan menurun, batuk dan nyeri dada. Pada aktinomikosis abdominal dan pelvik, biasanya ditemukan teraba massa dan nyeri tekan pada bagian kuadran kanan bawah abdomen, keluar cairan dari vagina, penurunan berat badan dan juga demam. Pada aktinomikosis kutaneus primer dapat ditemukan gejala klinis seperti lesi berbentuk nodus, saluran sinus dan fistel pada bagian yang terinfeksi.3,4,9,13,17
  1. Aktinomikosis servikofasial
Aktinomikosis servikofasialis merupakan tipe paling sering terjadi dan ditemukan dalam 50% dari kasus aktinomikosis.Faktor resiko pencetusnya adalah kebersihan mulut yang buruk yang menyebabkan terjadinya abses periodontal atau keroposan gigi, trauma orofasial, benda asing yang mempenetrasi tepi mukosa seperti tulang ikan.2,8,10
Infeksi yang terjadi pada ekstraksi gigi atau trauma mulut menimbulkan rasa nyeri, indurasi dan pembengkakan yang berwarna merah pudar (dull-red) pada jaringan lunak pada daerah lesi. Massa inflamasi berada pada regio mandibula.6 Selain itu, pasien juga mengeluh sering gatal dan trismus.7,8,9
Setelah beberapa minggu hingga bulan, bagian yang terinfeksi akan berubah warna menjadi warna kebiruan (bruish discoloration). Massa menjadi lebih fluktuasi dan membentuk  saluran sinus pada extra atau intraoral. Selain itu, dapat juga terjadi edema, pembengkakan jaringan lunak dan pembentukan abses disertai gejala umum seperti demam dan penurunan berat badan pada pasien.4,7
Aktinomikosis servikofasial juga dapat menyebar ke daerah lidah, sinus, selaput otak, regio kranial dan pembuluh darah jika tidak diterapi. Pada tipe ini, tidak terdapat penyebaran melalui kelenjar limfe.2,3,7,12

Aktinomikosis thorakal
Infeksi thorakal terjadi pada 15-20% kasus aktinomikosis dan dapat melibatkan paru-paru, dinding dada atau kedua-duanya. Aktinomikosis tipe ini sering terjadi pada penderita dengan struktur gigi yang buruk dan mempunyai gejala yang tidak spesifik seperti penurunan berat badan, nyeri dada, batuk dan demam. Gejala klinis dan radiologi yang dimiliki mirip dengan malignansi TB. Apabila bakteri dari paru-paru menyebar ke kulit, dapat ditemukan beberapa saluran sinus pada kulit bagian thoraks. Infeksi juga dapat menyebar ke tulang iga dan membentuk osteomielitis.3,4,8,9,11
Aktinomikosis abdominal
Aktinomikosis abdominal meliputi 20% dari kasus aktinomikosis dan paling sering terjadi di regio iliosekal, namun bagian primer yang terinfeksi adalah esofagus, lambung dan anorektal. Pada aktinomikosis tipe ini, organ yang paling sering terkena infeksi adalah apendiks, diikuti kolon, lambung dan hepar. Penderita yang terkena aktinomikosis tipe ini sering bermanifestasi seperti gejala apendisitis yaitu demam, teraba massa dan nyeri tekan pada bagian kuadran kanan bawah abdomen serta leukositosis.2,8,6,11,12,18
Pada pemeriksaan CT-Scan dapat ditemukan massa atau pembesaran kelenjar lunak pada organ yang terinfeksi. Namun, diagnosis dapat dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi untuk membedakan penyakit ini dengan neoplasma atau infeksi lain. Massa pada lesi diambil menggunakan tekhnik aspirasi jarum halus. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan granul sulfur dengan pewarnaan Giemsa.18
Lesi yang terinfeksi juga dapat membentuk sinus ke pelvis atau fistel in ano. Penyebaran organisme ini ke hepar dapat menyebabkan gejala ikterus dan terbentuk massa intrahepatik atau abses hepar yang multipel dan menyerupai neoplasma. Organisme ini juga dapat menyebar ke ovarium, ginjal, kandung kemih atau tulang belakang. Pada keadaan kronik, dapat terbentuk saluran yang menyambung langsung ke kulit dan menjadi saluran sinus yang purulen.2,7,8,11,12
  1. Aktinomikosis pelvis
Aktinomikosis pelvis sering terjadi pada penggunaan IUD jangka lama, prolaps uteri dan aborsi septik. Pada tipe ini, gejala klinis yang sering muncul adalah keluarnya cairan dari vagina, pembengkakan lokal, pembentukan abses, massa tuba-ovari dan terjadinya penyakit infeksi pelvis dengan gejala kaku pada pelvis dan mirip keganasan. Penyakit ini umumnya tidak memberikan manifestasi pada kulit.  Selain itu, terdapat juga gejala yang tidak spesifik seperti nyeri pada bagian bawah abdomen, demam dan perdarahan vaginal di luar siklus menstrual.3,8,9,11
Pasien pengguna IUD dengan gejala inflamasi pada pelvis dapat dicurigai adanya infeksiActinomyces aktif. Sebuah studi melaporkan bahwa A. israelii menginfeksi rata-rata 1,6%–11,6% pengguna IUD di seluruh dunia. Penggunaan IUD jangka panjang melebih 5 tahun merupakan faktor resiko terjadinya infeksi. Pada pemakaian IUD dapat terjadi inflamasi ringan yang menyebabkan perubahan dan nekrosis pada endometrium. Proses ini akan mencetuskan terbentuknya keadaan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan Actinomyces israelii dan bakteri anaerob yang lainnya.11,17
  1. Aktinomikosis kutaneus primer.
Aktinomikosis kutaneus primer merupakan tipe aktinomikosis yang paling jarang terjadi dan lebih sering terkena pada kulit yang terpapar. Penyakit ini sering disebabkan oleh faktor trauma seperti luka tusukan, fraktur, ekstraksi gigi dan injeksi terkontaminasi atau gigitan serangga yang membentuk lesi pada kulit. Infeksi oleh organisme ini terjadi melalui implantasi ke jaringan anaerob.3,14,17
Setelah beberapa waktu setelah infeksi, akan terbentuk nodul subkutaneus yang eritema. Nodul ini menyebar secara perlahan dan membentuk sinus yang mengeluarkan pus purulen berbentuk granul yang mudah menyebar ke organ di sekitarnya. Lesi nodular yang membentuk sinus pada tipe ini harus dibedakan dengan gejala klinis dari penyakik infeksi kronis kulit yang lain seperti tuberkulosis kutaneus, sporotrikosis dan nokardiosis.8,15
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan granul sulfur yang merupakan penanda untuk aktinomikosis, leukosit polimorfonuklear dengan keratosis epidermis dan infiltrasi dermis. Untuk membedakan dengan sporotrikosis, pada pemeriksaan ditemukan sel polimorfonuklear, eosinofil, dan makrofag pada dinding lesi. Sedangkan pada tuberkulosis kutis didapatkanMantoux test positif, dan bakteri tahan asam.8,19,20
Pada pembiakan kultur dari lesi yang dibiakkan akan ditemukan filamen Gram positif dan koloni aktinomises. Kultur ini menggunakan media anaerob seperti thioglycollate selama 14 hari. Sedangkan pada Sporotrikosis ditemukan pengelompokan konidia.8,20
Pada pemeriksaan darah tidak menunjukkan adanya proses inflamasi yang spesifik. Tetapi biasanya ada leukositosis, polimorfonuklear predominan, atau anemia normokrom.5
Pemeriksaan radiologi biasanya menggunakan plain x-ray, tapi tidak memberikan gambaran yang khas. Pada aktinomikosis torakal gambarannya menyerupai kelainan paru-paru yang lain. CT-Scan abdomen memberikan gambaran adanya fistula pada daerah perianal, untuk menegakkan diagnosis aktinomikosis abdominal.5,18
  1. VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis aktinomikosis sulit ditentukan hanya dari gejala klinik saja. Dibutuhkan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologi, maupun pemeriksaan kultur untuk menegakkan diagnosis aktinomikosis. Pada aktinomikosis servikofasialis, pasien datang dengan keluhan adanya fistula pada daerah kepala dan leher, tapi umumnya pada daerah perimandibular, disertai adanya edema, pembengkakan jaringan lunak, pembentukan abses serta gejala umum seperti demam dan penurunan berat badan. Periode inkubasi sekitar 2 bulan sampai 1 tahun. Pada pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya granuloma aktinomises, jaringan perifer bergranul dan berisi sel plasma, fibroblast, sel giant, dan pembuluh darah, dan keseluruhan membentuk infiltrat polimorfonuklear.3
Pada aktinomikosis thorakal, pasien datang dengan batuk, hemoptisis, keringat malam, dan penurunan  berat badan. Tidak ada perubahan pada kulit. Pasien mengalami nyeri dada dan demam yang berlangsung lama. Pada pemeriksaan sputum, ditemukan filamen aktinomises. Biasanya tampak granul sulfur dengan koloni sederhana. Pada pemeriksaan radiologi, dapat menyerupai kelainan paru-paru lain seperti infeksi maupun metastasis tumor. Pemeriksaan darah dapat menunjukkan leukositosis, polimorfonuklear dominan, dan anemia normokrom.5
Pada aktinomikosis abdominal, pasien datang dengan nyeri perut kronis, demam, muntah diare atau konstipasi, dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan darah tidak menunjukkan proses inflamasi yang spesifik yang berhubungan dengan keganasan, penyakit infeksi usus, maupun penyakit infeksi lain. CT-Scan abdomen merupakan modalitas yang dianjurkan. Pemeriksaan tersebut memberikan gambaran lesi massa yang padat. MRI juga merupakan modalitas lain yang memberikan gambaran adanya fistula pada daerah perianal. Sama dengan pemeriksaan histopatalogi aktinomikosis yang lain, memberikan gambaran adanya granul sulfur dari aktinomises.18
Pada aktinomikosis pelvik umumnya disebabkan karena penggunaan IUD yang lama. Gejalanya seperti nyeri abdomen atau nyeri pelvik, demam, penurunan berat badan, keluar cairan maupun darah dari vagina. Pemeriksaan kultur dari aspirasi abses dan apusan servikal memberikan karakteristik filamen gram positif dan adanya granul sulfur dengan pemberianmetilen blue 1%. Anemia dan leukositosis dapat ditemukan pada pemeriksaan darah. Pada kasus yang berat, pemeriksaan radiologi (CT-Scan) memberikan gambaran sebuah proses keganasan sehingga harus dilakukan pembedahan kompleks.16
Aktinomikosis kutaneus memiliki gambaran nodul subkutaneus yang menyebar secara perlahan membentuk sinus, dapat mengenai kelenjar limfe. Pemeriksaan histopatologi dari biopsi jaringan menunjukkan leukosit polimorfonuklear dengan keratosis epidermis dan infiltrasi dermis.16,17,18
  1. IX. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding aktinomikosis tergantung dari tempat terjadinya. Aktinomikosis memiliki gejala yang cukup khas. Tetapi sebagai penyakit yang jarang, diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan mudah. Aktinomikosis kadang sulit didiagnosis karena menyerupai Tuberkulosis dan penyakit noninfeksi seperti tumor ganas pada regio cervicofacial. Diagnosis ditegakkan dengan mengidentifikasi butiran-butiran di nanah dan pada pemeriksaan histologis. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan kultur.7,8,21
  1. Tuberkulosis Kutis
TBC kutis memiliki distribusi di seluruh dunia. Meskipun penyakit manusia denganMycobacterium tuberculosis dan M. bovis biasanya menyebar melalui droplet, dan masuk sering melalui saluran pernapasan, Tuberkulosis kutis juga dapat terjadi secara primer. Diagnosis banding dari tuberkulosis yang paling mendekati aktinomikosis adalah Tuberkulosis cutis colliquativa (skrofuloderma). Skrofuloderma adalah Tuberkulosis cutis yang dapat menyebabkan abses dan kerusakan kulit atasnya. Skrofuloderma dapat multibasiler maupun paucibasiler. Prevalensi tertinggi Skrofuloderma terjadi pada anak-anak, remaja dan usia lanjut.22,23
Skrofuloderma kebanyakan terjadi di regio parotis, submandibular, dan supraklavikular. Pertama kali terlihat sebagai nodul subcutaneous yang berbatas tegas, mobile, dan asimtomatik. Semakin membesar nodul tersebut, akan semakin lunak. Setelah beberapa bulan, pengeluaran cairan dengan perforasi akan muncul yang menyebabkan timbulnya ulkus dan sinus. Ulkus pada Skrofuloderma berbentuk sangat rusak, tepi kebiruan dan lunak, dan mempunyai lantai yang bergranula.20
Nekrosis masif dan abses pada tengah lesi tidaklah spesifik. Meskipun demikian, tepi abses atau batas dari sinus mengandung granula tuberkuloid untuk pemeriksaan histopatologis. Diagnosis biasanya dilakukan melalui aspirasi jarum halus, atau biosi eksisi dari masa dan tes bakteriologis melalui pewarnaan bakeri tahan asam (BTA). Apabila terdapat limfadenitis tuberkulosa atau kerusakan tulang dan sendi, diagnosis Skrofuloderma dapat ditegakkan dengan mudah. Hasil positif pada kultur dapat memastikan diagnosis.
Pendekatan terbaik untuk pengobatan kelainan seperti Skrofuloderma adalah obat anti tuberkulosis konvensional. Sementara individu yang pernah kontak dekat dengan pasien, seperti anggota keluarga, harus menjalani tes tuberkulin. Nodul yang terkena dapat disembuhkan dengan electrosurgery, cyrosurgery, dan kuretase dengan electrodessication. Terapi farmakologis tetap mengiringi sebagai pengobatan utama.
  1. Tumor Parotis
Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva terbesar. Kelenjar ini terletak di regio preaurikular, jauh di dalam kulit dan jaringan subkutan. Kebanyakan tumor parotis, baik jinak maupun ganas bermanifestasi sebagai masa yang tidak nyeri. Meskipun demikian, tumor ganas dapat merusak nervus di sekitarnya yang menyebabkan nyeri lokal atau regional, mati rasa, parestesia, dan kehilangan fungsi motorik.24

Gambar 14. tumor parotis
(Dikutip dari kepustakaan 25)

Pada pemeriksaan fisik, yang paling sering ditemukan adalah massa tidak nyeri tekan, mobile, tegas, dan soliter. Dapat dilakukan inspeksi pada duktus Stensen untuk memeriksa karakter dari aliran saliva (kejelasan, konsistensi, dan nanah), adanya kemerahan, bengkak, dan iritasi lubang duktus.24
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada tumor parotis adalah tes hematologis, serologis dan pemeriksaan radiologis. CT-Scan hampir 100% sensitif dalam mendeteksi massa kelenjar ludah, tetapi tidak dapat membedakan antara massa jinak dan ganas. CT-Scan membantu menentukan ukuran dan luas tumor secara anatomis. Diagnosis pasti dari tumor parotis ditegakkan dengan biopsi jarum halus dengan akurasi lebih dari 96% dan sensitifitas 88-98%.27
Pengobatan yang dianjurkan biasanya pembedahan untuk mengangkat kelenjar ludah yang terkena. Jika tumor jinak, tidak ada pengobatan lain yang ganas. Kemoterapi kadang digunakan pada pasien yang dianggap beresiko tinggi atau ketika telah menyebar ke keluar dari kelenjar ludah.24
X. TERAPI
Terapi antimikroba yang diperpanjang (yaitu, 6-12 bulan) biasanya telah direkomendasikan untuk pasien dengan semua bentuk klinis aktinomiksis untuk mencegah kambuhnya penyakit. Namun, individualisasi terapi dianjurkan dimana durasi antibiotik tergantung pada beban awal penyakit, tempat infeksi, dan respon klinis dari pengobatan. Drainase yang tepat diperlukan jika terdapat abses. Penggunaan antibiotik telah meningkatkan prognosis untuk semua bentuk aktinomikosis. Saat ini, tingkat kesembuhan yang tinggi dengan tidak mengalami cacat atau kematian adalah hal yang umum. Penisilin G adalah obat pilihan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh salah satu dari Actinomyces. Penisilin G diberikan dalam dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama, karena infeksi memiliki kecenderungan untuk kambuh. Kebanyakan infeksi diharapkan dapat merespon penisilin G intravena, 10 sampai 20 juta unit / hari diberikan selama 2 sampai 6 minggu, diikuti oleh phenoxypenicillin oral dalam dosis 2 sampai 4 g / hari. Terapi penisilin oral tambahan selama beberapa minggu mungkin memadai untuk aktinomikosis servikofasial tanpa komplikasi; kasus yang disertai komplikasi dan penyakit paru atau perut yang luas mungkin memerlukan pengobatan selama 12 sampai 18 bulan.27
Resistensi penisilin G oleh Actinomyces selama terapi berkepanjangan jarang ditemukan. Kombinasi penisilin (yaitu, amoksisilin, piperasilin) dan inhibitor beta-laktamase (yaitu, klavulanat, tazobactam) dapat digunakan untuk terapi dari patogen aerobik dan anaerobik yang resisten terhadap penisilin. Beberapa kopatogen dapat menghasilkan enzim beta-laktamase yang dapat melindungi Actinomyces dari penisilin. 27
Pada penderita dengan alergi penisilin dapat menggunakan alternatif antibiotik lini pertama termasuk amoksisilin, tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, eritromisin, dan klindamisin. Berikut ini adalah dosis dari masing-masing antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif:
●      Amoksisilin: 1.5 g/hari peroral, diberikan setiap 8 jam
●      Tetrasiklin: 1-2 g/hari peroral, diberikan setiap 6 jam
●      Doksisiklin: 200mg/hari intravena atau peroral, diberikan setiap 12-24 jam
●      Minosiklin: 200mg/hari intravena atau peroral, diberikan setiap 12 jam
●      Eritromisin: 2-4g/hari intravena, diberikan setiap 6 jam atau 1-2g/hari peroral, diberikan setiap 6 jam
●      Klindamisin: 2.7g/hari intravena, diberikan setiap 8 jam atau 1.2-1.8g/hari peroral, diberikan setiap 6-8jam.28
Metronidazol, aminoglikosida, aztreonam, kotrimoksazol (TMP-SMX), penisilinase (misalnya, methicillin, nafcillin, oksasilin, kloksasilin) dan sefaleksin dan obat antijamur tidak efektif terhadap organisme aktinomikosis. 27

  1. XI. PROGNOSIS
Prognosis dari aktinomikosis tanpa pengobatan umumnya buruk. Apabila aktinomikosis didiagnosis dini dan diobati dengan terapi antibiotik yang tepat, prognosisnya sangat baik.8
Karena aktinomikosis bersifat progresif, prognosis tergantung pada tahap di mana infeksi didiagnosa dan diobati. Meskipun perbaikan lambat dan membutuhkan terapi antibiotik selama berbulan-bulan, kebanyakan individu dapat pulih. Aktinomikosis servikofasial adalah yang paling mudah diobati. Prognosis kurang menggembirakan pada aktinomikosis toraks dan abdomen atau ketika infeksi yang meluas terjadi. Jika infeksi tidak sepenuhnya dihilangkan, individu berisiko untuk relaps dalam bentuk yang lebih parah. Infeksi yang tidak diobati dapat menyebabkan cedera jaringan luas atau kematian.
  1. XII. KOMPLIKASI
Komplikasi aktinomikosis diantaranya adalah:
●      Abses otak
●      Endokarditis
●      Meningitis
●      Osteomielitis
Abses yang terjadi sebagai akibat dari aktinomikosis yang dapat berkembang di berbagai tempat di tubuh, termasuk paru-paru. Abses dapat menyebar dengan mudah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain.7
Actinomyces dapat memasuki aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan infeksi dalam darah (sepsis), dalam selaput otak tulang belakang (meningitis bakteri), dalam otak (abses otak), atau di hati. Meskipun jarang, komplikasi ini sering fatal. Aktinomikosis yang melibatkan wajah atau leher dapat menyebar ke gusi, tulang rahang, telinga tengah (otitis media), tulang rusuk, atau tulang belakang(osteomielitis). Aktinomikosis paru dapat menyebabkan pneumonia.29

 SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL

SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL
A. PENDAHULUAN
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.1
Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal yang memiliki potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling sering memberikan efek samping pada pasien karena memiliki afinitas yng kuat pada reseptor muskarinik. Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap rangsangan.2,3
Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).2
B. DEFINISI
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.4
C. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi.
Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang, umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang. Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.1,3,5
D. ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut:1
Tabel 1. Obat-Obat Antipsikotik dan Efek Samping Gejala Ekstrapiramidalnya
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. Ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
Trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +
E. PATOFISIOLOGI
Susunan Piramidal
Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke lower motor neuron (LMN) atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok upper motor neuron (UMN). Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni girus presentralis . Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu. Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang membentuk inti motorik saraf kranial dan motoneuron dikornu anterius medulaspinalis.1,3
Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat thalamus dan ganglia basalia mereka terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai kapsula interna.6
Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung di motorneuron saraf kranial motorik atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut kortikobulbar berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga.6
Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral yang berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis ventralis.6
Susunan Ekstrapiramidal
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).1,3
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik.1,3
Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.1,3,6
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dab sebagai akibatnya menyebabka efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.1,4
F. GEJALA KLINIS
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson.2
 Reaksi Distonia
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa meni dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh). Hal ini akan menggangu pasien, dapat menimbulkan nyeri hingga mengancam nyawa seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan dosis tinggi seperti haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda.2,5
Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusionI, memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang menyebabkan disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.2
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah sebagai berikut:1
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
Gambar 1. Posisi Abnormal pada Pasien yang Mengalami Distonia5
a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik).
c. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).
d. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
 Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau rasa gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel. Akatisia sering sulit dinilai dan sering salah diagnosis dengan anxietas atau agitasi dari pasien psikotik, yang disebabkan dosis antipsikotik yang kurang. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifesatsi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.3,6
 Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat parkinsonism sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.3,6
 Tardive Dyskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.
Gambar 2. Gerakan Involunter pada Tardive Dyskinesia2
Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Diskinesia tardive dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.2
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat digunakan seperti difenhidramin pada pasien yang mengalami distonia. Selain itu epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.1,2
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk memberikan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.1,2
Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.1
Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.1,2
Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.2
Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive dyskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada banyak pasien.2
H. DIAGNOSIS BANDING
Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:1,2
1. Sindroma putus obat
2. Parkinson disease
3. Tetanus
4. Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
5. Distonia primer
Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham.
I. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
J. KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.
K. KESIMPULAN
Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di jalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.
Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, dan tardive dyskinesia. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti trihexyphenidil (THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat umumnya diberikan Beztropin secara IV atau difenhidramin secara IM. Untuk akatisia diberikan antikolinergik dan amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian.

 OBSESIF KOMPULSIF

GANGUAN OBSESIF-KOMPULSIF (F42)

  1. I. PENDAHULUAN
Gangguan obsesif-kompulsif digambarkan sebagai pikiran dan tindakan yang berulang yang menghabiskan waktu yang menyebabkan distress dan hendaya yang bermakna. 1
Obsesi adalah aktivitas mental seperti pikiran, perasaan, ide, impuls yang berulang. Sedangkan kompulsi adalah pola perilaku tertentu yang berulang dan disadari seerti menghitung, memeriksa, dan menghindar. Tindakan kompulsi merupakan usaha untuk meredakan kecemasan yang berhubungan dengan obsesi namun tidak selalu berhasil meredakan ketegangan. Pasien dengan gangguan ini menyadari bahwa pengalaman obsesi dan kompulsi tidak beralasan sehingga bersifat egodistonik.  Read the rest of this entry »

 DEPRESI POSTPARTUM

DEPRESI POSTPARTUM
  1. I. PENDAHULUAN
Secara umum sebagian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah melahirkan. Bentuk gangguan postpartum yang umum adalah depresi, mudah marah dan terutama mudah frustasi serta emosional. Gangguan mood selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara. Menurut DSM-IV, gangguan pascasalin diklasifikasikan dalam gangguan mood dan onset gejala adalah dalam 4 minggu pascapersalinan.(1,2)
Sebagian perempuan menganggap bahwa masa–masa setelah melahirkan adalah masa–masa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional. Gangguan–gangguan psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari. Hal ini bisa muncul dalam durasi yang sangat singkat atau berupa serangan yang sangat berat selama berbulan–bulan atau bertahun – tahun lamanya.(1,2)
Ada 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues, postpartum depression dan postpartum psychosis.
Postpartum blues atau sering disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan pasca persalinan yang bersifat sementara. Postpartum depression yaitu depresi pasca persalinan yang berlangsung saat masa nifas, dimana para wanita yang mengalami hal ini kadang tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan penyakit. Postpartum psychosis, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena bisa menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap pasca melahirkan.(3)
Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami). Tingkat keparahan depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami “kesedihan sementara” yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.(1,4)

  1. II. DEPRESI POST PARTUM
Depresi postpartum terjadi dalam 10-15% wanita pada populasi umum. Depresi postpartum paling sering terjadi dalam 4 bulan pertama setelah melahirkan, tetapi dapat terjadi kapan pun pada tahun pertama. Depresi postpartum tidak berbeda dari depresi yang dapat terjadi setiap saat lainnya dalam kehidupan wanita. Masa pasca-melahirkan adalah waktu yang paling rentan bagi wanita untuk mengembangkan penyakit kejiwaan. Wanita yang menderita 1 episode depresi mayor setelah melahirkan memiliki risiko kekambuhan sekitar 25%.(4,5,7,8)
Perempuan resiko tertinggi adalah mereka dengan sejarah pribadi depresi, episode sebelumnya depresi pasca melahirkan, atau depresi selama kehamilan. Selain memiliki riwayat depresi, kehidupan yang penuh stress akhir-akhir ini, stres sehari-hari seperti perawatan anak, kurangnya dukungan sosial (terutama dari pasangan), kehamilan yang tidak diinginkan, dan status asuransi telah divalidasi sebagai faktor risiko. (4,5,7,8)
Biasanya, depresi pasca melahirkan berkembang secara diam-diam selama 3 bulan pertama pasca melahirkan, meskipun gangguan tersebut mungkin memiliki onset yang lebih akut. Depresi postpartum lebih persistent dan melemahkan daripada postpartum blues.(4,5,7,8)
  1. III. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN DEPRESI POST PARTUM
Depresi postpartum tidak berbeda secara mencolok dengan gangguan mental atau gangguan emosional. Suasana sekitar kehamilan dan kelahiran dapat dikatakan bukan penyebab tapi pencetus timbulnya gangguan emosional. Penyebab nyata terjadinya gangguan pasca melahirkan adalah adanya ketidakseimbangan hormonal ibu, yang merupakan efek sampingan kehamilan dan persalinan. Faktor lain yang dianggap sebagai penyebab munculnya gejala ini adalah masa lalu ibu tersebut, yang mungkin mengalami penolakan dari orang tuanya atau orang tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi terhadap perpisahan, dan ketidakpuasaan dalam pernikahan. (2,5,7)
Perempuan yang memiliki riwayat masalah emosional rentan terhadap gejala depresi ini, kepribadian dan variabel sikap selama masa kehamilan seperti kecemasan, kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan dengan munculnya gejala depresi. Karakteristik wanita yang berisiko mengalami depresi postpartum adalah : wanita yang mempunyai sejarah pernah mengalami depresi, wanita yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, wanita yang kurang mendapatkan dukungan dari suami atau orang–orang terdekatnya selama hamil dan setelah melahirkan, wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa kehamilannya misalnya kurang komunikasi dan informasi, wanita yang mengalami komplikasi selama kehamilan. (2,5,7)
Depresi pascasalin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (2,5,6,9)
  1. Biologis. Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar hormon seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat.
  2. Karakteristik ibu, yang meliputi :
  3. Faktor umur. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.
  4. Faktor pengalaman. Depresi pascasalin ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres.
  5. Faktor pendidikan. Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka.
  6. Faktor selama proses persalinan. Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin.
  7. Faktor dukungan sosial. Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi postpartum adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu.

  1. IV. GEJALA-GEJALA DEPRESI POST PARTUM
Depresi merupakan gangguan yang betul–betul dipertimbangkan sebagai psikopatologi yang paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian. Gejala depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan. Manifestasi dari kedua gangguan ini lebih lanjut sering timbul sebagai keluhan umum seperti : sukar tidur, merasa bersalah,  kelelahan,  sukar  konsentrasi, hingga pikiran  mau bunuh  diri. Keluhan dan gejala depresi postpartum tidak berbeda dengan yang terdapat pada kelainan depresi lainnya. Hal yang terutama mengkhawatirkan adalah pikiran – pikiran ingin bunuh diri, waham–waham paranoid dan ancaman kekerasan terhadap anak–anaknya. Tetapi dibandingkan dengan gangguan depresi yang umum, depresi postpartum mempunyai karakteristik yang spesifik antara lain : (4,5,7)
  1. Mimpi buruk. Biasanya terjadi sewaktu tidur REM. Karena mimpi – mimpi yang menakutkan, individu itu sering terbangun sehingga dapat mengakibatkan insomnia.
  2. Insomnia. Biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia.
  3. Fobia. Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien, biarpun diketahuinya bahwa hal itu irasional adanya. Ibu yang melahirkan dengan bedah Caesar sering merasakan kembali dan mengingat kelahiran yang dijalaninya. Ibu yang menjalani bedah Caesar akan merasakan emosi yang bermacam–macam. Keadaan ini dimulai dengan perasaan syok dan tidak percaya terhadap apa yang telah terjadi. Wanita yang pernah mengalami bedah Caesar akan melahirkan dengan bedah Caesar pula untuk kehamilan berikutnya. Hal ini bisa membuat rasa takut terhadap peralatan peralatan operasi dan jarum.
  4. Kecemasan. Ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahuinya.
  5. Meningkatnya sensitivitas. Periode pasca kelahiran meliputi banyak sekali penyesuaian diri dan pembiasaan diri. Bayi harus diurus, ibu harus pulih kembali dari persalinan anak, ibu harus belajar bagaimana merawat bayi, ibu perlu belajar merasa puas atau bahagia terhadap dirinya sendiri sebagai seorang ibu. Kurangnya pengalaman atau kurangnya rasa percaya diri dengan bayi yang lahir, atau waktu dan tuntutan yang ekstensif akan meningkatkan sensitivitas ibu.
  6. Perubahan mood. Depresi postpartum muncul dengan gejala sebagai berikut : kurang nafsu makan, sedih – murung, perasaan tidak berharga, mudah marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, melukai diri, anhedonia, menyalahkan diri, lemah dalam kehendak, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau berhubungan dengan orang lain. Di sisi lain kadang ibu jengkel dan sulit untuk mencintai bayinya yang tidak mau tidur dan menangis terus serta mengotori kain yang baru diganti. Hal ini menimbulkan kecemasan dan perasaan bersalah pada diri ibu walau jarang ditemui ibu yang benar–benar memusuhi bayinya. Depresi postpartum sering disertai gangguan nafsu makan dan gangguan tidur, rendahnya harga diri dan kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau perhatian.

  1. V. PENATALAKSANAAN
Singkirkan penyebab fisik untuk gangguan mood (misalnya, disfungsi tiroid, anemia). Evaluasi awal termasuk riwayat kesehatan menyeluruh, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium rutin. Tingkat keparahan penyakit akan menentukan terapi yang tepat. (2,5,7,9)
Strategi pengobatan non-farmakologis berguna untuk wanita dengan gejala depresi ringan sampai sedang. Psikoterapi individu atau kelompok (kognitif-perilaku dan terapi interpersonal) adalah sangat efektif. (2,5,7,9)
Psychoeducational atau dukungan kelompok juga dapat membantu. Modalitas ini dapat sangat menarik bagi ibu yang menyusui dan yang ingin menghindari minum obat.(2,5,7,9)
Strategi farmakologis yang diindikasikan untuk gejala depresi sedang sampai berat atau ketika seorang wanita tidak merespon pengobatan non-farmakologis. Obat juga dapat digunakan dalam hubungannya dengan terapi non-farmakologis. (2,5,7,9)
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) adalah agen lini pertama dan efektif pada wanita dengan depresi pasca-melahirkan. Gunakan dosis antidepresan standar, misalnya, fluoxetine (Prozac) 10-60 mg/hari, sertraline (Zoloft) 50-200 mg/hari, paroxetine (Paxil) 20-60 mg/hari, citalopram (Celexa) 20-60 mg/hari , atau escitalopram (Lexapro) 10-20 mg/hari. Efek samping obat kategori ini termasuk insomnia, mual, penurunan nafsu makan, sakit kepala, dan disfungsi seksual. (2,5,7,9)
Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs), seperti venlafaxine (Effexor) 75- 300 mg/hari atau duloxetine (Cymbalta) 40-60 mg/hari, juga sangat efektif untuk depresi dan kecemasan. (2,5,7,9)
Antidepresan trisiklik (misalnya, Nortriptilin 50-150 mg/hari) mungkin berguna bagi wanita dengan gangguan tidur, walaupun beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan lebih merespon obat kategori SSRI. Efek samping dari antidepresan trisiklik termasuk mengantuk, berat badan bertambah, mulut kering, sembelit, dan disfungsi seksual. (2,5,7,9)
Biasanya, gejala mulai berkurang dalam 2-4 minggu. Dan penyembuhan total dapat berlangsung beberapa bulan. Pada sebagian responden, meningkatkan dosis dapat membantu. (2,5,7,9)
Obat anxiolytic seperti lorazepam dan clonazepam mungkin berguna sebagai pengobatan adjunctive pada pasien dengan kecemasan dan gangguan tidur. Data awal menunjukkan bahwa estrogen, sendiri atau kombinasi dengan antidepresan, mungkin bermanfaat, namun tetap antidepresan menjadi lini pertama pengobatan. (2,5,7,9)
Jika ini adalah episode pertama dari depresi, pengobatan selama 6-12 bulan dianjurkan. Untuk wanita dengan depresi mayor berulang, diindikasikan perawatan pengobatan jangka panjang dengan antidepresan. (2,5,7,9)
Kegagalan untuk mengobati atau pengobatan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan memburuknya hubungan antara ibu dan bayi atau pasangan. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko morbiditas pada ibu dan bayi, serta kompromi sosial dan pengembangan pendidikan sang bayi. Semakin cepat pengobatan maka semakin baik prognosisnya. Rawat Inap mungkin diperlukan untuk depresi pascamelahirkan yang parah. (2,5,7,9)

  1. VI. PROGNOSIS
Identifikasi dan intervensi secara dini prognosenya pada wanita yang mengalami depresi postpartum adalah baik. Beberapa kasus yang pernah dilaporkan tertangani dengan baik jika efek depresi post partum ini diketahui sejak awal. Pencegahan yang paling utama adalah informasi tentang faktor resiko terjadinya depresi postpartum di masyarakat sebagai nilai penting untuk mencegah terjadinya depresi ini. Skrining awal terjadinya depresi postpartum ini dapat diketahui saat ibu membawa bayinya pada tempat pelayanan kesehatan untuk dilakukan imunisasi sehingga pencegahan terjadinya depresi postpartum dan depresi secara umum dapat dihindari.(3,5)


  1. VII. KESIMPULAN
    1. Deteksi dini depresi post partum dapat dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan ibu hamil dan imunisasi.
    2. Depresi post partum dapat dicegah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya ibu hamil tentang faktor resiko terjadinya depresi.
    3. Pengobatan farmakologis dan non-farmakologis sangat diperlukan bagi wanita atau ibu dengan depresi post partum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar